Kurikulum Abad 21
pada Juli 07, 2017
PENERAPAN LIMA HARI SEKOLAH di Kota Semarang, mulai 7 Juli 2015 |
Di tengah hiruk pikuk program sekolah 5 (lima) hari yang disebut Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPPK), pemerintah sudah mengeluarkan ketentuan baru Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 yang direvisi tahun 2017.
Bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan makin membingungkan guru di tengah kebingungan mereka terhadap wacana full day school dan alih tata kelola Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ke Provinsi.
Beberapa hal yang dikuatkan dari Kurikulum 2013 hasil revisi tahun 2017 yaitu (1) penguatan pendidikan karakter, (2) penguasaan literasi, dan (3) penguatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Karakter yang diperkuat dititikberatkan pada (1) religiusitas, (2) nasionalisme, (3) kemandirian, (4) gotong royong, dan (5) integritas.
Sementara itu penguasaan literasi ditekankan pada literasi Abad 21 yang terangkum dalam akronim 4C, yaitu (1) creative, (2) critical thinking, (3) communicative, dan (4) collaborative.
4C tersebut di antaranya sudah mencakup beberapa kompetensi berpikir tingkat tinggi.
Tampaknya bergayung sambut dengan program PPPK, revisi Kurikulum 2013 tersebut dalam implementasinya nanti direncanakan melalui (1) penambahan dan intensifikasi kegiatan yang berorientasi mengembangkan karakter siswa, (2) menambah dan mengatur ulang alokasi waktu belajar siswa di sekolah dan luar sekolah, dan (3) menyelaraskan dan menyesuaikan tugas pokok guru, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan fungsi Komite Sekolah (KS) dengan kebutuhan gerakan penguatan pendidikan karakter.
Sebenarnya hasil revisi terakhir Kurikulum 2013 tersebut tak ada hal yang baru sama sekali.
Dalam diskursus Ilmu Pendidikan semua hal yang dianggap penting tersebut sudah jadi bahasan dasar bagi mahasiswa program studi kependidikan S1.
Namun kebijakan tersebut menjadi membingungkan para guru di sekolah, karena pemerintah juga punya kebijakan sejenis yang juga berimplikasi pada dunia pendidikan. Antara lain Nawacita, 18 nilai-nilai karakter siswa, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan standar nasional pendidikan.
Tanpa adanya revisi Kurikulum 2013 yang terakhir sebenarnya para pendidik dan akademisi pendidikan juga sudah paham betul bahwa kompetensi-kompetensi tersebut penting dikuasai di Abad 21.
Upaya pemerintah yang ingin menjadikan kompetensi-kompetensi tersebut betul-betul diajarkan di sekolah dan dikuasai siswalah yang justru menjadi sebab dari masalah di lapangan.
Mengapa? Karena upaya tersebut dilakukan dengan mengontrol ketat rencana, pelaksanaan, dan penilaian hasil belajar di sekolah. Orientasi pemerintah itulah yang telah menghasilkan beragam dokumen dan tata administrasi yang harus dipenuhi oleh para guru. Pada akhirnya justru para guru sibuk menulis dokumen RPP yang harus dibuat secara rigid dan rinci mengacu pada KKNI, nilai-nilai karakter, kompetensi literasi Abad 21, dan lainnya.
Jika tiap pertemuan harus membuat RPP terlebih dulu, maka bisa diprediksi ada beberapa hal yang terabaikan dari tanggung jawabnya sebagai guru. Upaya peningkatan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, maupun kepribadian guru paling potensial terabaikan.
Pentingkan substansi
Hak anak-anak para guru yang juga butuh perhatian dan kasih sayang di rumah pun akan terabaikan.
Muncullah sindiran: anak orang dididik dengan baik, anak sendiri terabaikan.
Tak hanya itu, sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh para guru selama uji coba Kurikulum 2013, mengajar justru menjadi kaku karena terbebani harus menjalankan RPP yang sudah dibuat sebelumnya.
Seakan semua harus mengikuti desain pembelajaran awal.
Guru takut berimprovisasi dan merespons hal-hal yang sifatnya insidental dan kontekstual di kelas, karena takut dianggap tidak bisa menerapkan RPP yang sudah dibuat sendiri. Penilaian otentik yang disarankan pun menjadikan guru tak leluasa menikmati seni mengajar di depan kelas, karena “dipaksa” mengamati secara jeli perkembangan siswa di kelas. Termasuk mengamati karakter siswa.
Dengan kata lain, guru sekadar menjadi operator kurikulum pemerintah saja. Mengajar tak lebih dari aktivitas teknis-metodis seperti teknisi merakit perangkat elektronik yang penuh dengan SOP yang harus dipatuhi.
Padahal mengajar/mendidik seharusnya adalah aktivitas seni-budaya, sebagaimana tukang kebun merawat tanaman yang beragam di taman sari yang perlakuannya terhadap tiap-tiap tanaman berbeda sesuai dengan jenisnya.
Mendidik siswa juga seperti menulis naskah drama yang dipentaskan di panggung (baca: kelas), yang membolehkan improvisasi, interaksi, dan kolaborasi.Hal-hal yang bersifat seni-budaya inilah yang disebut pendidikan humanis.
Nah, agar guru tak lagi jadi sekadar operator kurikulum di kelas, melainkan sebagai pendidik yang mengajar dengan senang, bahagia, memanusiakan siswa, pembelajarannya pun humanis, menyenangkan, dan secara substansial memenuhi tujuan pembelajaran, maka Kurikulum 2013 dan kebijakan lain tersebut harus dilihat substansinya, bukan bentuk teknisnya.
Dalam hal ini adagium posmodern mengenai pembelajaran patut dipegang, yaitu utamakan prinsip-prinsip ketimbang prosedur, dan utamakan manusianya di atas prinsip-prinsip (Brent Wilson, 1997).
Dengan berpikir ala posmo maka guru akan dapat lebih menikmati aktivitas mengajar di kelas, sehingga fokusnya pada siswa dan pembelajaran itu sendiri, bukan pada dokumen-dokumen, serangkaian SOP, dan kelengkapan administratif lain.
Fenomena guru tak menikmati mengajar oleh karenanya bukan sekadar karena guru belum terbiasa dengan kebijakan baru, melainkan karena memang ada yang kurang tepat dari kebijakan tersebut. Kembali pada hal yang sifatnya lebih substansial dari kebijakan-kebijakan tersebut, termasuk revisi Kurikulum 2013 akan menjadikan guru lebih menikmati mengajar.
Selain itu akan punya banyak waktu untuk pengembangan diri, memberi perhatian penuh pada anak-anaknya sendiri, dan mengenal siswa-siswinya dengan baik. Dokumen-dokumen, SOP, dan tata administrasi yang dibebankan pada guru harus dibuat sesederhana mungkin namun tetap menyimpan makna substansialnya.
Dengan demikian, cara pandang substansial ini perlu diikuti dengan perubahan kebijakan oleh pemerintah yang lebih manusiawi. Karena guru juga manusia. (tribunjateng/cetak)
Penulis: Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Sumber: http://jateng.tribunnews.com/2017/07/01/kurikulum-abad-21